Skip to main content
RehabilitasiArtikel

Cahaya di Ujung Gelap: Pendekatan Berbasis Agama Dalam Proses Rehabilitasi Pecandu Narkoba

Dibaca: 12 Oleh 09 Apr 2025Tidak ada komentar
berita dan artikel 1
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Di balik deretan angka statistik pengguna narkoba yang terus meningkat dari tahun ke tahun, tersimpan banyak kisah manusia yang tragis, rapuh, dan seringkali tidak terdengar. Mereka adalah individu yang tersesat dalam labirin gelap ketergantungan, namun masih menyimpan asa untuk kembali pulang. Mereka bukan hanya ‘pecandu’, melainkan manusia yang pernah kehilangan arah. Dalam proses menemukan jalan pulang itu, salah satu pendekatan yang mulai mendapat perhatian lebih adalah pendekatan berbasis agama.

Pendekatan ini tidak hanya menawarkan aspek spiritual sebagai penghibur jiwa, namun juga menjadi sarana transformasi identitas, kontrol diri, dan penyembuhan makna hidup. Artikel ini akan mengeksplorasi peran pendekatan berbasis agama dalam proses rehabilitasi, dengan menyoroti tiga aspek utama: pecandu narkoba, proses rehabilitasi, dan pendekatan agama itu sendiri.

Pecandu Narkoba: Antara Luka, Dosa, dan Pencarian Diri

Dalam persepsi publik, pecandu narkoba sering kali distigmatisasi sebagai kriminal, orang berdosa, atau individu gagal. Namun di balik kecanduan itu, terdapat trauma masa lalu, tekanan sosial, kegagalan sistem keluarga, hingga kesepian yang akut. Banyak dari mereka bukan menggunakan narkoba untuk “bersenang-senang”, melainkan untuk melupakan, meredakan rasa sakit emosional, atau mengisi kehampaan eksistensial.

Sebagian pecandu menceritakan bahwa momen pertama mereka mencoba narkoba adalah karena desakan pergaulan, pelarian dari rasa tak berharga, atau bahkan bentuk pemberontakan terhadap otoritas. Seiring waktu, zat adiktif tersebut mengambil alih hidup mereka—bukan lagi sekadar pelarian, melainkan jeruji yang mengikat. Dalam kondisi ini, mereka bukan hanya perlu disembuhkan secara fisik dan psikologis, tetapi juga secara spiritual. Jiwa mereka perlu dipulihkan, diberi makna, dan diarahkan.

Rehabilitasi: Lebih dari Sekadar Detoksifikasi

Proses rehabilitasi konvensional umumnya fokus pada detoksifikasi fisik, konseling psikologis, terapi kognitif perilaku (CBT), dan lain sebagainya. Pendekatan-pendekatan ini sangat penting dan telah terbukti membantu banyak pecandu untuk keluar dari ketergantungan. Namun demikian, banyak juga yang kembali kambuh meski telah menjalani seluruh tahapan tersebut.

Kekambuhan sering terjadi karena adanya kekosongan dalam dimensi spiritual dan nilai hidup. Rehabilitasi yang hanya menyentuh aspek tubuh dan pikiran, tanpa memperhatikan roh dan makna hidup, cenderung menciptakan pemulihan yang rapuh. Di sinilah pendekatan agama hadir sebagai pelengkap, bahkan dalam beberapa kasus, sebagai inti dari proses transformasi diri.

Pendekatan Berbasis Agama: Menyentuh Ranah Terpaling Dalam

Pendekatan berbasis agama dalam rehabilitasi tidak sekadar mengajarkan dogma atau mewajibkan ibadah formal. Pendekatan ini bertujuan membangkitkan kesadaran spiritual, menumbuhkan nilai moral, dan memperkenalkan konsep ampunan dan kasih Tuhan. Agama menjadi alat introspeksi diri, sumber harapan baru, dan pegangan hidup.

Beberapa metode yang umum digunakan dalam pendekatan ini meliputi:

  1. Pembinaan Rohani

Pembinaan rohani bukan sekadar ritual massal, tapi proses pelan-pelan memulihkan jiwa yang kering. Pecandu diajak untuk ikut serta dalam pengajian, misa, atau meditasi bersama, tergantung latar belakang keagamaan masing-masing. Tapi esensinya bukan pada bentuknya, melainkan pada ruang dialog yang dibuka antara manusia dan Tuhan. Melalui pembinaan ini, nilai-nilai ketuhanan—seperti pengampunan, kesabaran, kasih, dan tanggung jawab—dipelajari kembali. Bukan sebagai aturan mati, tapi sebagai kompas hidup yang bisa menuntun seseorang keluar dari keterpurukan.

  1. Ritual Keagamaan

Praktik seperti shalat, dzikir, puasa, membaca kitab suci, hingga meditasi hening bukan hanya untuk menggugurkan kewajiban, tapi untuk melatih kesadaran diri (mindfulness spiritual). Dalam setiap gerakan dan bacaan, ada proses menyucikan batin, ada jeda dari kerusuhan pikiran yang selama ini menjadi teman candu. Ritual menjadi sarana pembiasaan diri. Ia mengatur ulang ritme hidup. Dari yang sebelumnya kacau dan impulsif, kini menjadi lebih tertata, disiplin, dan penuh refleksi.

  1. Terapi Spiritual

Inilah jantung dari pendekatan religius yang matang: terapi yang melibatkan pendamping spiritual yang memahami psikologi adiksi. Pendeta, ustadz, biksu, atau tokoh agama bukan hanya menyampaikan ayat, tapi menjadi pendengar, penanya yang bijak, dan penyambung makna. Terapi spiritual bekerja mirip seperti konseling psikologi, namun dilandasi oleh narasi-narasi ketuhanan. Seperti mengatakan bahwa kegagalan bukan akhir, bahwa Tuhan tak menjauh hanya karena kita terjatuh, dan bahwa setiap orang punya nilai karena mereka diciptakan dengan cinta.

  1. Komunitas Keagamaan

Tidak ada pemulihan tanpa komunitas. Komunitas keagamaan yang suportif bisa menjadi jaring pengaman setelah proses rehabilitasi formal selesai. Mereka menyediakan ruang aman, lingkungan yang penuh kasih, dan pengingat bahwa pecandu bukan orang buangan, melainkan pejuang pemulihan. Dalam komunitas ini, tidak ada stigma. Yang ada hanya sesama manusia yang berjalan bersama, saling menyemangati dalam perjalanan panjang kembali menjadi utuh.

Salah satu kekuatan terbesar agama adalah kemampuannya membentuk ulang identitas. Seorang pecandu yang dulunya merasa dirinya hanyalah “sampah masyarakat” mulai melihat dirinya dalam cahaya yang berbeda—sebagai makhluk yang berharga, yang masih dicintai, yang layak mendapat kesempatan kedua.

Transformasi ini tidak datang dari luar, tapi dari dalam. Ia lahir saat seseorang mulai melihat Tuhan bukan sebagai hakim, tapi sebagai penyembuh. Ketika seseorang mulai percaya bahwa hidupnya, meski penuh cacat, masih punya potensi untuk menjadi cerita yang indah.

Agama mengajarkan bahwa setiap manusia punya narasi penebusan. Bahwa bahkan tokoh-tokoh suci dalam sejarah pernah jatuh, tersesat, tapi akhirnya kembali dan menjadi terang. Dan jika mereka bisa—kenapa tidak kita?

Tantangan dan Integrasi

Tentu saja, pendekatan ini bukan tanpa tantangan. Tidak semua pecandu memiliki latar belakang keagamaan yang kuat. Beberapa justru mengalami trauma religius di masa lalu. Oleh karena itu, pendekatan agama harus dilakukan secara inklusif, tidak memaksa, dan tetap menghargai kebebasan spiritual individu.

Selain itu perlu digaris bawahi, pendekatan berbasis agama tidak boleh menjadi bentuk pelarian dari kenyataan. Ia tidak boleh dipakai untuk menutupi luka dengan dogma. Sebaliknya, ia harus membuka ruang penghadapan: menghadapi trauma, dosa, kegagalan, dan rasa malu—dengan keberanian dan cinta. Pendekatan ini akan gagal jika digunakan untuk memaksa, menakut-nakuti, atau mereduksi manusia hanya sebagai objek dosa. Ia hanya akan berhasil jika dilandasi oleh empati, kebebasan memilih, dan pendampingan yang autentik.

Pendekatan yang ideal merupakan integrasi antara pendekatan medis, psikologis, sosial, dan spiritual. Kombinasi ini memungkinkan rehabilitasi berlangsung secara menyeluruh dan berkelanjutan. Institusi rehabilitasi perlu menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh agama yang memiliki pemahaman tentang adiksi serta pendekatan non-dogmatis yang suportif.

Penutup: Kembali pada Cahaya

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, narkoba sering kali menjadi jalan pintas bagi mereka yang kehilangan arah. Tapi selalu ada jalan kembali, selama masih ada secercah cahaya—dan bagi banyak orang, cahaya itu adalah Tuhan.

Pendekatan berbasis agama bukan hanya soal doa dan ibadah. Ia adalah tentang pemulihan makna hidup, rekonstruksi identitas, dan penyembuhan batin. Bagi pecandu, agama bisa menjadi rumah baru—tempat di mana mereka tidak dihakimi, melainkan dipeluk, dipulihkan, dan diberi kesempatan untuk memulai kembali.

Penulis:

Muhammad Rumi Fasabrun Jamil (Mahasiswa Magang dari UNY) & Tri Sulistya Hadi Wibowo, S.Psi. (BNNP DIY)

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel